Tuesday, December 15, 2015

Ngajak orangtua ke kampus? Mahasiswa atau mahamanja?

image source: http://www.mypalmbeachdivorce.com/2011/03/01/divorcing-couples-and-the-special-needs-child/
Minggu lalu, saya kedatangan seorang mahasiswa yang membawa ibunya ke kampus untuk mengajukan permohonan pindah kelas si anak. Dari laporan mereka, diketahui bahwa si mahasiswa ingin pindah kelas karena tidak dapat bekerja sama dalam tugas kelompok. Si mahasiswa bersikeras untuk pindah kelas atau pilihan lainnya: berhenti kuliah.

Kebetulan mahasiswa ini juga ikut salah satu kelas saya. Wah, saya jadi merasa harus berdiskusi dengan mahasiswa dan orangtuanya tersebut. Saya bilang pada mereka bahwa tidak ada jaminan jika si anak pindah kelas maka masalah akan selesai. Bisa jadi mungkin masalah tetap akan ada atau bahwa lebih parah, karena kondisi tiap kelas tentu berbeda.

Saya menyampaikan bahwa aktivitas tugas kelompok memang menjadi bagian dari pembelajaran mahasiswa agar nantinya mahasiswa mempunyai mental ‘team work’ yang baik. Toh dalam dunia kerja nantinya, kita tak bisa memilih siapa yang menjadi bos atau rekan kerja kita. Saya bahwa selalu menentukan kelompok secara random untuk melatih mental tersebut. Suka atau tidak suka dengan sebuah ‘team work’ – tugas tetap harus jalan!

Oke, lupakan dulu masalah ‘team work’. Bukan itu fokus saya kali ini. Pertanyaan saya kali ini adalah ‘kenapa mahasiswa sampai membawa orangtuanya ke kampus untuk sebuah masalah yang seharusnya dapat mereka selesaikan sendiri?’

Bukan sekali dua kali saya mengalami hal ini. Banyak mahasiswa mengajak orangtua mereka ke kampus untuk menyelesaikan masalah yang seharusnya menjadi tanggung jawab individu mahasiswa itu sendiri. Mulai dari masalah absensi, bingung menentukan jurusan, revisi skripsi yang tak kunjung selesai, sampai masalah konflik dengan teman sekelas.

Muncul pertanyaan selanjutnya, ‘Lantas di mana sisi kedewasaan mahasiswa?’ Saya selalu menganggap bahwa mahasiswa adalah manusia dewasa yang harus diperlakukan berbeda dengan pelajar SMA. Mahasiswa merupakan manusia dewasa yang sudah dapat bertanggung jawab dan konsekuen pada pilihannya. Manusia yang mampu menentukan mana prioritas terpenting dalam hidupnya.

Jika dulu saya risih jika orangtua saya ke kampus – jelas malu jika dibilang ‘anak mama’ – maka hal tersebut berbeda 180” dengan mahasiswa jaman sekarang yang sedikit-sedikit merengek agar orangtuanya datang ke kampus dan membantu menyelesaikan masalah mereka. Sampai di sini saya jelas merasa terganggu dengan model mahasiswa seperti ini. Mahasiswa yang bagi saya tak akan siap untuk dilepas nantinya ke masyarakat. Mahasiswa yang tak akan pernah bisa bersaing di industri pekerjaan mereka. Itupun syukur jika ada yang sampai mau memberikan mereka pekerjaan!

Apa bedanya mahasiswa dengan pelajar SMA? Jelas dari namanya saja mereka sudah menambahkan kata ‘maha’ di depan siswa yang menurut KBBI artinya sangat atau besar. Jadi jelaslah bahwa mahasiswa itu levelnya ‘beyond’ dari siswa biasa. Dari sisi tanggung jawab, mahasiswa telah diberikan tanggung jawab lebih dari siswa biasa. Jika saat masih menjadi siswa haram yang namanya ditatto, kuping ditindik, rambut gondrong atau gimbal, dan juga merokok – maka saat menjadi mahasiswa sah-sah saja selama mereka berani bertanggung jawab atas semua pilihannya itu. Toh semua larangan bagi siswa itu tak ada dasar hukum positifnya.

Saya termasuk terbuka untuk mahasiswa yang melakukan hal-hal tersebut. Bagi saya toh itulah serunya masa kuliah. Mau kupingnya ditindik pake paku beton juga terserah, selama berlaku sopan. Mau merokok sekaligus lima juga terserah, selama itu tak dilakukan saat jam pelajaran. Mau dandan menor juga boleh-boleh saja selama nilai akademisnya cemerlang. Itulah bagi saya sebuah kedewasaan – tanggung jawab dan konsekuen pada sebuah pilihan. Tentu akan lain cerita jika seorang mahasiswa itu tattoan, tindikan, merokok, tapi sikapnya tidak sopan, malas dan buruk nilai akademisnya.

Jadi bagi saya, mahasiswa yang mengajak orangtuanya ke kampus untuk hal-hal kecil tak lebih levelnya dari seorang siswa TK yang masih selalu bergantung pada orangtua. Hanya badan dan usianya saja yang gede, namun mentalnya masih anak-anak dan tidak cocok menjadi mahasiswa. Mahasiswa model begini tak akan pernah punya ‘fighting spirit’ untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Tak punya kreativitas untuk mewujudkan mimpi-mimpi mereka.

Kesuksesan dalam pandangan saya adalah sebuah keseimbangan antara kehidupan akademis dengan kehidupan sosial. Tau kapan waktunya belajar, kapan waktunya main, kapan waktunya pacaran. Maka jangan harap mahasiswa model begini akan pernah bisa sukses…

Wednesday, May 6, 2015

Teknologi & Free Will

sumber: http://static.guim.co.uk/sys-images/Guardian/Pix/pictures/2013/12/2/1386002179310/Mobile-phone-bills-008.jpg
Gara-gara nonton film The Gambler yang diperankan oleh Mark Wahlberg, saya jadi terinspirasi menjalankan satu adegan dalam film tersebut. Dalam film tersebut, saat Mark mengajar di depan kelas ada mahasiswa yang asyik mainan handphone. Mark mendekat dan mengambil handphone tersebut agar mahasiswa tersebut memperhatikannya (entah kemudian dikembalikan atau tidak ^_^).

Saya juga sering mengalami hal yang sama. Saat sedang mengajar, ada saja mahasiswa yang memainkan handphone-nya. Entah mungkin bosan, entah materi perkuliahan saya yang tidak menarik, atau sebab lain...

Selasa kemarin (5 Mei 2015), saya mencoba melakukan hal yang sama. Pada tiga puluh menit pertama, ada mahasiswa yang asyik mainan handphone-nya dan ia kebetulan duduk di baris pertama. Saya ambil handphone-nya dan ia cukup kaget dengan tindakan saya tersebut namun tidak dapat berbuat apa-apa – seluruh kelas menyaksikannya.

Namun tampaknya hal itu tak membuat pelajaran buat beberapa - temannya yang lain. Saya mengambil – untuk keduakalinya – handphone seorang mahasiswa lain yang juga asyik memainkan handphone-nya. Ketika kelas berakhir, total ada tiga handphone yang saya “sita” dan saya jejerkan di meja dosen. Semua handphone tersebut saya kembalikan saat perkuliahan berakhir.

***

Dari semua mahasiswa yang saya “sita” handphone-nya, saya ketahui nilai akademis mereka tidak cukup baik. Saat UTS kemarin, nilainya juga masih di bawah rata-rata (baca: buruk!).

Handphone – dalam hal ini teknologi – itu bagaikan sebuah pisau. Kita dapat mempergunakannya untuk kebaikan, tapi juga bisa kita gunakan untuk hal-hal negatif. Jangan disalahkan pisaunya – jangan disalahkan teknologinya. Teknologi juga dapat sangat membantu mereka untuk desk research tugas-tugas perkuliahan, tapi juga bisa membuat konsentrasi mereka buyar yang mengakibatkan nilai akademis mereka buruk.

Sekali lagi, semuanya tergantung kita. It’s a FREE WILL! Mahasiswa sudah seharusnya lebih bijak daripada siswa SMA – kan sudah MAHA. Ke depannya saya tidak akan segan-segan melakukan hal serupa – bahkan jika kalian mainan tab atau laptop saat jam perkuliahan saya...

Tuesday, February 10, 2015

DOSEN JUGA MANUSIA

Tak terasa, saya telah menekuni profesi sebagai dosen selama hampir lima tahun. Dua tahun sebagai dosen part-time dan dua setengah tahun sebagai dosen full-time. Artinya saya adalah karyawan dari sebuah universitas dan harus hadir setiap hari dengan jam kerja yang telah ditentukan – seperti karyawan kantoran pada umumnya.

Selama itu pulalah saya telah berhubungan dengan banyak mahasiswa. Ada yang baik, sangat sopan bahkan cenderung lebay. Namun tak sedikit pula yang cuek, bahkan seringkali jutek mungkin karena mendapat nilai rendah dari saya. Selama itu pula saya tak pernah menanggapi serius secara personal. Sudah menjadi kewajiban saya untuk membantu mereka semua dalam hal akademis.

Saat saya memutuskan untuk full-time menjadi dosen, salah satu alasan terkuat adalah saya ingin pulang kerja lebih jelas (baca: lebih cepat) daripada saat bekerja di agency. Namun tidak jarang pula beberapa mahasiswa mengontak saya di luar jam perkuliahan guna mendiskusikan hal-hal tertentu. Jika sedang ada waktu luang tentu saya akan tanggapi. Ya namun perlu diingat, dosen juga manusia. Saya bisa lelah, suntuk – bahkan galau! Bisa juga sedang mengurus keluarga – main dengan anak atau membantu anak mengerjakan PR. Artinya saya harus dapat membagi waktu saya. Tak semua dapat saya berikan buat mahasiswa. Istilah lainnya: ‘saya juga punya kehidupan lain di luar kehidupan sebagai dosen’.

Di satu sisi – entah karena keterpaksaan atau karena ketidaksabaran – mahasiswa seringkali mengontak saya untuk masalah akademis pada waktu yang tidak tepat. Etika seringkali terlupakan dan dosen sering dianggap sebagai deodorant – harus ‘setia setiap saat’. Berikut adalah beberapa pengalaman yang pernah saya alami sendiri:


1. KENALAN DULU DOOONG!!!


Saya mungkin masih mampu mengenali mahasiswa saya lewat wajahnya. Namun jangan beranggapan saya menyimpan semua nomor ponsel mahasiswa di phone book saya. Jadi sebaiknya sebelum mahasiswa mengutarakan maksudnya, ya sebutkan dulu nama dan kelasnya – NIM juga boleh walau gak ngefek banget.













2. DOSEN BUKAN 7-ELEVEN YANG BUKA 24 JAM



Saya juga manusia, butuh istirahat seperti manusia normal lainnya. Dulu mungkin saya cukup kuat begadang saat kerja di agency. Namun entah kenapa sekarang saya cepat mengantuk. Jadi sebaiknya batasi jam mengontak saya sebelum jam 9 malam, karena saya bukan 7-ELEVEN dan tidak OPEN 24HRS.
















3. DOSEN JUGA BUTUH LIBURAN




Saat weekend atau hari libur lainnya, mungkin saya juga punya kegiatan pribadi. Mungkin bersepeda, berkebun ataupun liburan bersama keluarga. Saat itu saya biasanya paling malas dihubungi mahasiswa, apalagi untuk hal yang seharusnya masih bisa ditunda. Bukannya sombong sih, tapi kan saya berarti juga beranggapan mahasiswa butuh liburan… :D













4. TUGAS DOSEN BUKAN HANYA MEMBIMBING MAHASISWA

Beberapa mahasiswa menganggap bahwa tugas seorang dosen adalah mengajar dan mengajar – bimbingan skripsi atau bimbingan magang saja. Padahal semua dosen – termasuk saya – juga masih punya tugas-tugas lain yang tidak kalah pentingnya. Kami harus melakukan penelitian, melakukan pengabdian kepada masyarakat dan juga mengurus hal-hal lain yang bersifat administratif lainnya. Mungkin beberapa mahasiswa beranggapan bahwa pekerjaan mereka lebih penting dari pekerjaan si dosen, namun percayalah dosen juga punya pekerjaan penting. Dan satu lagi, dosen juga butuh makan siang – sama seperti orang kantoran pada umumnya…


Nothing personal… Kalo mahasiswa ingin dihargai oleh dosennya, ya cobalah untuk menghargai pula dosennya. Sebuah hal sederhana yang kadang terlupakan…

Wednesday, December 10, 2014

Freshgrad mau gaji gede?

source: http://ariffshah.com/wp-content/uploads/kerja-fresh-graduate.jpg
Beberapa mahasiswa saya menanyakan tentang standar gaji seorang freshgrad. Sepintas memang tak ada yang salah dengan hal itu. Ketika saya tanya balik, kamu merasa pantas digaji berapa? Mereka langsung kebingungan.

Gaji adalah hak setiap karyawan. Gaji adalah ukuran kuantitatif keberhasilan karir seseorang. Namun masalah akan dating jika seseorang menuntut gaji lebih tinggi dari kualitas dan kemampuan orang tersebut. Tanpa bermaksud menghalang-halangi seseorang untuk mendapatkan gaji besar, saya lebih setuju jika besaran gaji itu berbanding lurus dengan kualitas seseorang. Artinya, semakin baik kualitas seorang karyawan, maka besaran gajinya pun akan semakin baik.

Saya cukup terganggu jika ada yang bertanya dan langsung menyebutkan angka, “Pak, kalo jadi jabatan itu dapet gak ya lima juta?” Duh, kok belum memperlihatkan kemampuan dan hasil yang baik tau-tau sudah minta jumlah tertentu saja. Apa iya tidak ada calon karyawan lain yang secara kualitas lebih baik namun bisa digaji lebih rendah?
Ada salah satu mentor yang pernah kasih nasihat ke saya, “Co, jangan kejar bayangannya. Kejarlah cahayanya!” Sumpah saya gak paham awalnya. Namun akhirnya saya mengetahui maksud dari nasihat itu adalah jangan hanya mengejar hasil akhir, namun pelajarilah prosesnya dengan baik.

Tidak ada yang salah dengan gaji besar. Namun sebaiknya hal tersebut didapat setelah memahami proses yang baik. Jika seorang karyawan punya kemampuan dan attitude yang baik, saya yakin bahwa perusahaan akan menganggap karyawan tersebut adalah aset perusahaan yang sangat berharga. Jika karyawan tersebut dapat menghasilkan keuntungan yang besar bagi perusahaan tersebut, sudah tentu perusahaan tersebut merasa pantas untuk menghargai karyawannya secara lebih.

Namun, jika dalam satu semester perusahaan tidak mau memberikan apresiasi lebih pada karyawan itu, lebih baik pindah dan mencari tempat baru – perusahaan yang memang dapat menghargai karyawan yang berkualitas. Tidak akan sulit bagi seorang karyawan yang berkualitas untuk mencari pekerjaan selanjutnya. Yang kemudian jadi masalah adalah jika seorang karyawan overpaid dan berkualitas pas-pasan, mencari pekerjaan selanjutnya menjadi lebih sulit. Akhirnya sampai pada titik jenuh, mau pindah kerja susah tapi tempat yang lama sudah tidak menyenangkan…


Sunday, October 26, 2014

PENTINGKAH PENDIDIKAN?

source: http://confluenceedu.com/wp-content/uploads/2015/01/PGD-in-Education.jpg

Gara-gara Bu Susi yang tidak tamat SMA bisa jadi menteri, lantas muncul beberapa posting yang mengatakan bahwa kerja keras lebih penting dari pendidikan... Mirip dengan pendapat "Steve Jobs & Bill Gates aja gak lulus kuliah tapi bisa sukses..."
Oke, sekarang pertanyaannya harus saya balik.
Apakah kita - ya termasuk saya - punya otak sebrilian Steve Jobs & Bill Gates, serta kerja keras seperti Bu Susi?
Jika jawabannya "YA" maka pendapat di atas valid. Kita mungkin sukses tanpa harus lewat jalur pendidikan.
Jika jawabannya "TIDAK" maka kita perlu berfikir ulang dan wajib memasukkan pendidikan dalam perjalanan hidup kita.
Pendidikan memang tidak menjamin kesuksesan - dan bukan kesuksesan itu sendiri. Namun pendidikan yang baik, memberikan kita peluang lebih banyak dan mengantarkan kita kepada pilihan-pilihan tentang kesuksesan...

Saturday, May 10, 2014

Tentang Mengoreksi dan Menilai


Dari semua semua tugas dosen – mengajar, penelitian dan pengabdian pada masyarakat – saya merasa yang terberat adalah dalam bagian mengoreksi dan menilai tugas serta ujian. Bagian ini masuk dalam tugas mengajar dosen.

Kenapa demikian? Karena sebagai dosen yang telah sekian lama berinteraksi dengan para mahasiswanya tentu saya juga memiliki unsur subjektivitas dalam penilaian. Padahal dalam mengoreksi dan menilai, unsur objektivitas adalah unsur wajib yang tidak bisa ditinggalkan. Saya tentunya tahu siapa mahasiswa yang baik dan mana yang sering nakal – mana yang rajin dan mana yang malas. Tidak dipungkiri ada mahasiswa yang jadi favorit dosen dan ada juga mahasiswa yang menyebalkan dosen.

Namun demikian, sebuah nilai akademis harusnya benar-benar murni adalah kemampuan akademis mahasiswa. Nakal dan malas harusnya tidak masuk dalam kemampuan akademis, namun bisa dijadikan nilai tambahan – tapi bukan unsur utama. Jika memang seorang mahasiswa mempunyai kemampuan akademis yang baik – walaupun ia termasuk nakal dan malas – maka sudah selayaknya ia mendapat nilai akademis yang sesuai dengan kemampuannya.

Nilai akhir dalam sebuah mata kuliah terdiri dari tiga elemen utama yaitu: nilai tugas, nilai UTS dan nilai UAS. Pembobotan standar dari tiga elemen tersebut adalah: 30% untuk tugas, 30% untuk nilai UTS dan 40% untuk nilai UAS. Namun pembobotan tersebut dapat disesuaikan dengan jenis mata kuliah tersebut. Misalkan untuk mata kuliah yang bersifat praktikal, pembobotan untuk tugas bisa mencapai 50% karena yang dibutuhkan adalah banyaknya praktik dan bukan banyaknya menghafal. Sedangkan untuk UTS dan UAS masing-masing mempunyai bobot 25%.

Dalam hal mengoreksi jawaban ujianpun, seorang dosen harus mempunyai kemampuan untuk mempertahankan ‘mood’-nya. Dengan asumsi seorang dosen minimal mengampu dua kelas yang masing-masing berisi empat puluh anak, maka akan ada sekitar delapan puluh lembar jawaban essay yang berisi beraneka-ragam jenis tulisan tangan mahasiswa. Dari mulai yang sangat jelas terbaca, membuat sakit kepala saat membacanya, sampai tebak-tebakan menerka apa isi tulisan mahasiswa tersebut saking sulit dibacanya. Yeah... kami kan dosen, bukan paranormal. :D

Jika ‘mood’ tidak bisa terjaga dengan baik, maka yakinlah bahwa nilai akan diberikan sekenanya – dan jelas hal ini merugikan mahasiswa. Yang harusnya baik bisa jadi jelek – yang jelek bisa jadi baik. Bahkan jika memungkinkan, sebaiknya mengoreksi harus dilakukan dalam waktu yang tidak terputus – minimal satu kelas dapat terselesaikan dalam satu kali koreksi. Dan jujur saja, di sela-sela mengoreksi pasti ada saja distraksi seperti cek email atau media sosial. Hal tersebut membuat tidak fokus dan tentunya memperlambat waktu koreksi. Jadi, komitmen dalam mengoreksi harus jelas: fokus!

Mungkin sebaiknya lembar jawaban ujian tidak perlu mencantumkan nama mahasiswa – cukup NIM saja – seperti yang saya alami saat kuliah magister di Universitas Indonesia. Dosen pada umumnya hanya mampu menghafal nama mahasiswa, bukan NIM-nya. Maka dengan demikian objektivitas bisa terjaga karena dosen tidak tahu sedang mengoreksi ujian siapa. Nama mahasiswa akan bisa diketahui saat dosen meng-entry nilai ujian. Ya... mungkin masih bisa ‘diakali’ tapi paling tidak mekanisme seperti ini lebih mendukung objektivitas dosen dalam menentukan kemampuan akademis seorang mahasiswa...

Monday, December 9, 2013

Worldview dan Masa Orientasi Studi

source: http://sd.keepcalm-o-matic.co.uk/i/keep-calm-and-go-to-orientation-day.png
Setiap tahun, selalu ada masa orientasi bagi para mahasiswa baru di sebuah sekolah tinggi atau universitas. Suka tidak suka, setiap mahasiswa baru wajib mengikutinya, karena banyak kampus yang menjadikannya sebagai salah satu syarat kelulusan studi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, orientasi  diartikan sebagai (1) peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dsb) yang tepat dan benar; (2) pandangan yg mendasari pikiran, perhatian atau kecenderungan; sedangkan berorientasi diartikan sebagai (1) melihat-lihat atau meninjau (supaya lebih kenal atau lebih tahu); (2) mempunyai kecenderungan pandangan atau menitikberatkan pandangan; berkiblat.[1] Sedangkan Merriam Webster mengartikan orientasi sebagai ‘a usually general or lasting direction of thought, inclination, or interest’.[2]

Dari tinjauan di atas dapat dilihat bahwa masa orientasi menjadi sebuah fondasi bagi mahasiswa ke depannya untuk bersikap, baik fisik maupun intelektual. Artinya masa orientasi akan menentukan bagaimana worldview mahasiswa baru tersebut. Samovar (2010:118) mengatakan bahwa worldview menyediakan dasar persepsi dan realitas seperti yang dialami orang yang bersangkutan. Sampai di sini maka masa orientasi yang baik akan menciptakan worldview mahasiswa yang baik, namun kesalahan tata cara masa orientasi akan dapat menciptakan worldview yang salah bahkan dapat memunculkan trauma tersendiri bagi mahasiswa tersebut.

Worldview merupakan hal penting, karena dengan worldview-lah seseorang mengamati, memahami dan meyakini kejadian-kejadian yang dialaminya. Worldview cenderung sulit diubah karena di dalamnya terletak fondasi kepercayaan yang diyakininya. Seorang Kristen tidak akan pernah merasa beban mengonsumsi babi sebagai makanannya karena memang tidak ada keyakinan bahwa babi itu haram dan dilarang untuk dimakan. Hal tersebut tentu berbeda dengan Muslim yang mempunyai keyakinan bahwa babi haram dan tidak boleh dimakan. Kondisi tersebut bukanlah benar-salah – karena keyakinan sangatlah subjektif dan memang tidak bisa disalahkan.

Kecenderungannya adalah masa orientasi menjadi ajang balas dendam dari panitia pelaksana (yang umumnya adalah mahasiswa senior) kepada para mahasiswa baru sebagai junior mereka. Balas dendam karena merasa diperlakukan sama oleh seniornya terdahulu pada masa orientasi sebelumnya. Dari tahun ke tahun mungkin kecenderungannya semakin berkurang, namun belum mampu dihilangkan sama sekali dalam masa orientasi. Sadar atau tidak, masa orientasi lantas kemudian membentuk sebuah worldview – mungkin bukan hanya saat masa studi, melainkan bisa sepanjang hidup.

Masa orientasi – lewat para pelaksananya – adalah penentu baik-buruk, benar-salah bagi mahasiswa pesertanya. Misalkan jika berteriak dan membentak diperbolehkan untuk sebuah kesalahan peserta maka akan terkonsepsi bahwa merekapun nantinya boleh berteriak dan membentak kepada juniornya nanti – atau bahkan kepada orang-orang yang secara status sosial lebih rendah dari mereka. Pelaksanaan masa orientasi dengan konsep seperti ini akan menjadi sebuah lingkaran setan yang tiada berkesudahan. Unsur penindasan dan hegemoni senior terhadap junior akan menjadi materai tersendiri bagi para peserta orientasi. Mereka akan beranggapan bahwa hal tersebut benar dan boleh dilakukan kelas kepada junior mereka nantinya.

Masa orientasi seharusnya digunakan untuk benar-benar memperkenalkan kampus, juga mempersiapkan mahasiswa baru untuk masuk dalam lingkungan intelektual dan akademis. Membiasakan mahasiswa berpikir rasional dan kritis. Sangat disayangkan para mahasiswa menjadi paradox tersendiri akan cita-cita dan perjuangan mereka. Saat mahasiswa berhasil menumbangkan sebuah rezim – Orde Lama dan Orde Baru – yang mereka lawan adalah sebuah otorianisme yang berlawanan dengan semangat demokrasi.

Mahasiswa berhasil menumbangkan sebuah rezim di luar mereka, namun gagal menghentikan ‘rezim’ masa orientasi di dalam tubuh mereka sendiri. Padahal jika mau, mahasiswa harusnya mampu memutus lingkaran setan tersebut karena pada tahun 1998 – 2000 cukup banyak kampus yang tidak melaksanakan kegiatan orientasi dikarenakan euforia reformasi. Saat itulah seharusnya rantai hegemoni senior-junior diputuskan.

Masa orientasi selayaknya harus dilakukan dengan konsep akademis dan nilai-nilai humanisme. Kegiatan harusnya bersifat akademis yang mengajarkan serta membiasakan mahasiswa baru berpikir intelek – dan bukan memakai atribut-atribut konyol yang tidak ada hubungannya dengan pelaksanaan studi nantinya. Mahasiswa baru seharusnya diperkenalkan secara mendalam bagaimana mereka akan melaksanakan kegiatan akademis nantinya – topik-topik perkuliahan, buku-buku yang dipakai, tokoh-tokoh dari bidang ilmu tersebut.

Mahasiswa baru juga diperkenalkan masing-masing unit kegiatan mahasiswa dan apa kegunaannya nanti sebagai penunjang kegiatan akademis mereka. Adakan diskusi-diskusi ilmiah, adakan debat ilmiah, adakan bedah buku, adakan forum kajian karya tokoh, dan masih banyak lagi yang bisa dikerjakan selain acara games konyol dengan atribut-atribut aneh dengan alasan melatih kekompakan, mentalitas dan sebagainya.

Cukup sudah pembodohan dilakukan. Orientasi mahasiswa dalam format dan bentuk lama hanya akan menghina intelektualitas kita semua dan mencoreng reputasi universitas yang bersangkutan. Kedisiplinan tidak harus tercipta setelah dimaki-maki. Mental mahasiswa bukan mental budak apalagi kuda yang akan bekerja jika dipecut dan diteriaki. Jika tidak sekarang, mungkin kita tidak akan pernah benar-benar bisa belajar dari kesalahan dan pengalaman.



[1] http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php
[2] http://www.merriam-webster.com/dictionary/orientation