image source: http://www.mypalmbeachdivorce.com/2011/03/01/divorcing-couples-and-the-special-needs-child/ |
Minggu lalu, saya kedatangan seorang mahasiswa yang membawa
ibunya ke kampus untuk mengajukan permohonan pindah kelas si anak. Dari laporan
mereka, diketahui bahwa si mahasiswa ingin pindah kelas karena tidak dapat
bekerja sama dalam tugas kelompok. Si mahasiswa bersikeras untuk pindah kelas
atau pilihan lainnya: berhenti kuliah.
Kebetulan mahasiswa ini juga ikut salah satu kelas saya.
Wah, saya jadi merasa harus berdiskusi dengan mahasiswa dan orangtuanya
tersebut. Saya bilang pada mereka bahwa tidak ada jaminan jika si anak pindah
kelas maka masalah akan selesai. Bisa jadi mungkin masalah tetap akan ada atau
bahwa lebih parah, karena kondisi tiap kelas tentu berbeda.
Saya menyampaikan bahwa aktivitas tugas kelompok memang
menjadi bagian dari pembelajaran mahasiswa agar nantinya mahasiswa mempunyai
mental ‘team work’ yang baik. Toh dalam
dunia kerja nantinya, kita tak bisa memilih siapa yang menjadi bos atau rekan
kerja kita. Saya bahwa selalu menentukan kelompok secara random untuk melatih
mental tersebut. Suka atau tidak suka dengan sebuah ‘team work’ – tugas tetap harus jalan!
Oke, lupakan dulu masalah ‘team work’. Bukan itu fokus saya kali ini. Pertanyaan saya kali
ini adalah ‘kenapa mahasiswa sampai membawa orangtuanya ke kampus untuk sebuah
masalah yang seharusnya dapat mereka selesaikan sendiri?’
Bukan sekali dua kali saya mengalami hal ini. Banyak
mahasiswa mengajak orangtua mereka ke kampus untuk menyelesaikan masalah yang
seharusnya menjadi tanggung jawab individu mahasiswa itu sendiri. Mulai dari
masalah absensi, bingung menentukan jurusan, revisi skripsi yang tak kunjung
selesai, sampai masalah konflik dengan teman sekelas.
Muncul pertanyaan selanjutnya, ‘Lantas di mana sisi
kedewasaan mahasiswa?’ Saya selalu menganggap bahwa mahasiswa adalah manusia
dewasa yang harus diperlakukan berbeda dengan pelajar SMA. Mahasiswa merupakan
manusia dewasa yang sudah dapat bertanggung jawab dan konsekuen pada pilihannya.
Manusia yang mampu menentukan mana prioritas terpenting dalam hidupnya.
Jika dulu saya risih jika orangtua saya ke kampus – jelas malu
jika dibilang ‘anak mama’ – maka hal
tersebut berbeda 180” dengan mahasiswa jaman sekarang yang sedikit-sedikit
merengek agar orangtuanya datang ke kampus dan membantu menyelesaikan masalah
mereka. Sampai di sini saya jelas merasa terganggu dengan model mahasiswa
seperti ini. Mahasiswa yang bagi saya tak akan siap untuk dilepas nantinya ke
masyarakat. Mahasiswa yang tak akan pernah bisa bersaing di industri pekerjaan
mereka. Itupun syukur jika ada yang sampai mau memberikan mereka pekerjaan!
Apa bedanya mahasiswa dengan pelajar SMA? Jelas dari namanya
saja mereka sudah menambahkan kata ‘maha’
di depan siswa yang menurut KBBI artinya sangat atau besar. Jadi jelaslah bahwa
mahasiswa itu levelnya ‘beyond’ dari
siswa biasa. Dari sisi tanggung jawab, mahasiswa telah diberikan tanggung jawab
lebih dari siswa biasa. Jika saat masih menjadi siswa haram yang namanya
ditatto, kuping ditindik, rambut gondrong atau gimbal, dan juga merokok – maka saat
menjadi mahasiswa sah-sah saja selama mereka berani bertanggung jawab atas
semua pilihannya itu. Toh semua larangan bagi siswa itu tak ada dasar hukum
positifnya.
Saya termasuk terbuka untuk mahasiswa yang melakukan hal-hal
tersebut. Bagi saya toh itulah serunya masa kuliah. Mau kupingnya ditindik pake
paku beton juga terserah, selama berlaku sopan. Mau merokok sekaligus lima juga
terserah, selama itu tak dilakukan saat jam pelajaran. Mau dandan menor juga
boleh-boleh saja selama nilai akademisnya cemerlang. Itulah bagi saya sebuah
kedewasaan – tanggung jawab dan konsekuen pada sebuah pilihan. Tentu akan lain
cerita jika seorang mahasiswa itu tattoan, tindikan, merokok, tapi sikapnya
tidak sopan, malas dan buruk nilai akademisnya.
Jadi bagi saya, mahasiswa yang mengajak orangtuanya ke
kampus untuk hal-hal kecil tak lebih levelnya dari seorang siswa TK yang masih
selalu bergantung pada orangtua. Hanya badan dan usianya saja yang gede, namun mentalnya
masih anak-anak dan tidak cocok menjadi mahasiswa. Mahasiswa model begini tak
akan pernah punya ‘fighting spirit’
untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Tak punya kreativitas untuk
mewujudkan mimpi-mimpi mereka.
Kesuksesan dalam pandangan saya adalah sebuah keseimbangan
antara kehidupan akademis dengan kehidupan sosial. Tau kapan waktunya belajar,
kapan waktunya main, kapan waktunya pacaran. Maka jangan harap mahasiswa model
begini akan pernah bisa sukses…